AS sorot kebebasan beragama di Indonesia


Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyorot kondisi kelompok Ahmadiyah dan keberadaan pasal penistaan agama di Indonesia dalam laporan tahunan tentang kebebasan beragama di dunia 2011.



anti ahmadiyah"Pada 2011, sejumlah pemerintahan di dunia menggunakan penodaan agama, kemurtadan dan penghinaan terhadap hukum agama untuk mengekang kebebasan beragama, membatasi hak-hak agama minoritas dan kebebasan berpendapat," kata laporan itu

Sejumlah negara antara lain Arab Saudi, Pakistan dan Indonesia tercatat sebagai negara yang masuk kategori tersebut. AS menyebutkan vonis penjara dalam kasus penistaan agama terhadap Antonius Richmond Bawengan pada 8 Februari, "seorang penganut Kristen yang dihukum lima tahun penjara karena penodaan agama karena mendistribusikan buku yang dianggap 'menyerang Islam."

Vonis kasus Antonius di Temanggung, Jawa Tengah, saat itu diwarnai kerusuhan setelah sekelompok massa merusak tiga gereja dan sebuah sekolah yang terletak di dekat gedung pengadilan.

Kasus yang menjerat Antonius ini terjadi pada 3 Oktober 2010 saat ia mengunjungi kerabatnya di Temanggung. Saat berkunjung itu ia membagikan buku dan selebaran berisi tulisan yang dianggap menghina umat Islam. Warga melaporkannya ke polisi dan ia ditahan beberapa pekan kemudian.
Kasus penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, juga diangkat oleh AS sebagai contoh diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas.

"Penganut Ahmadiyah yang melanggar larangan pemerintah untuk berdakwah dapat dipenjara karena penistaan agama; lebih dari 26 pemerintah daerah memberlakukan larangan terhadap kelompok ini dan pemerintah gagal menghentikan pembunuhan terhadap tiga penganut Ahmadiyah serta pemukulan terhadap lima orang lainnya di Cikeusik, provinsi Banten oleh 1.500 orang," kata laporan itu lagi.

Diskriminasi ganda
Wakil ketua Institut Setara untuk Perdamaian dan Demokrasi, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan laporan tahunan Deplu AS memang selalu kritis terhadap kondisi beragama di Indonesia.
Menurut Bonar, laporan itu seharusnya membuat Indonesia refleksi terhadap kondisi kebebasan beragama di Indonesia yang belum ada kebebasan berarti," kata Bonar pada BBC Indonesia.

"Apa yang mereka laporkan adalah sesuatu yang tidak terelakkan karena aturan penodaan agama itu seharusnya sudah direvisi dan dicabut," kata Bonar.
Setara mencatat nasib kaum minoritas seperti Ahmadiyah masih belum ada solusinya dan kondisi mereka sudah bisa disebut sebagai diskriminasi ganda.

"Bukan hanya dalam soal keyakinan, tetapi juga diskriminasi dalam bidang lain misalnya akses kesehatan, pendidikan, sulit mendapatkan ID card (KTP), atau mendaftarkan perkawinan," kata dia lagi.
Setara menganjurkan pemerintah merancang kebijakan yang membuat kaum minoritas di Indonesia merasa terlindungi. Pantauan Setara menunjukkan belum ada perubahan perlakuan terhadap kaum minoritas semenjak peristiwa Cikeusik.

"Teman-teman Ahmadiyah tetap mengalami tekanan, seperti terakhir di Kepulauan Riau ketika ada kelompok yang memaksa masjid mereka ditutup dan seperti biasa aparat keamanan hanya berjaga-jaga, tidak melakukan tindakan apa-apa," kata Bonar.
Sementara itu Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dalam pertemuan dengan sebuah lembaga teknokrat AS mengatakan laporan itu adalah "pertanda bagi pelanggar terburuk" bahwa dunia mengawasi.

"Teknologi baru memberi alat bagi pemerintah represif memberantas ekspresi beragama," kata Clinton, seperti dikutip kantor berita AP.
"Lebih dari satu miliar orang hidup di bawah pemerintahan yang secara sistematis menekan kebebasan beragama," kata dia.
"Jika kita berbicara mengenai hal ini, hak asasi manusia, sebuah elemen kunci atas masyarakat yang stabil, aman dan damai, dunia mengalami kemunduran."


Bagaimana menurut kalian para pembaca saveryth. . . ?


sumber : BBC Indonesia

Posting Komentar